Pacet, 1 November 2025 – Sobat Sanyupac, Dalam upaya memperkuat pemahaman pendidik terhadap perlindungan dan kesejahteraan anak, Yayasan Paratha Bhakti mengadakan Workshop Bimbingan Teknis Konvensi Hak Anak dan Sekolah Ramah Anak. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh guru, tenaga pendidik, dan tenaga penunjang pendidikan, serta menghadirkan dua narasumber berkompeten, yakni Ashari dan Bekti Prastyani, S.Pd.
Acara dibuka dengan refleksi tentang fenomena anak masa kini yang mudah marah, cepat bosan, dan sering mengalami stres atau ketakutan untuk bercerita. Melalui pembahasan ini, para pendidik diajak untuk merenungkan kembali peran penting mereka dalam “menyelamatkan” anak dari kondisi BLAST (Bored, Lonely, Angry, Stressed, Tired) menuju anak yang BEST atau EMAS – anak yang sopan, santun, berkarakter, empati tinggi, toleran, cerdas, dan tangguh.
Menurut para pemateri, kunci utama dalam proses pembelajaran adalah menciptakan anak yang bahagia, karena kebahagiaan menjadi dasar konsentrasi dan fokus belajar.
Dalam pemaparan materinya, Ashari menjelaskan bahwa setiap individu yang berusia di bawah 18 tahun—termasuk yang masih dalam kandungan—dikategorikan sebagai anak. Ia juga menegaskan empat prinsip utama Konvensi Hak Anak (KHA), yaitu:
Beliau menekankan bahwa dalam proses pendidikan guru tidak boleh menghukum anak, karena setiap anak memiliki “cahaya” yang mungkin belum muncul. Oleh sebab itu, pendekatan yang humanis dan penuh empati perlu dikedepankan.
Ada tiga penyebab utama anak mengalami masalah, yaitu proses tumbuh kembang, kurangnya pengetahuan dan kesadaran, serta keinginan untuk dimiliki dan merasa bernilai.
Dalam menangani hal tersebut, pendidik diingatkan untuk berpegang pada prinsip:
“Tegas harus, disiplin harus, marah boleh, korban harus ditolong.”
Selain itu, pendekatan 3 RIH (Related, Respectful, Reasonable, and Helpful) menjadi dasar dalam penerapan konsekuensi yang membangun bagi anak.
Masih dalam sesi yang sama, peserta juga diperkenalkan dengan 8 klaster Konvensi Hak Anak, salah satunya adalah hak perlindungan yang meliputi hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan partisipasi.
Sementara itu, Bekti Prastyani, S.Pd. membawakan sesi kedua dengan tema “Sekolah Ramah Anak dan Penerapan Disiplin Positif”. Ia mengajak peserta untuk menggaungkan semangat “Anak Senang, Guru Tenang, Orang Tua Bahagia.”
Melalui materinya, Ibu Bekti mengingatkan bahwa perilaku orang dewasa di sekitar anak sangat memengaruhi pembentukan emosi anak. Penolakan, pengabaian, teror, isolasi, hingga perusakan moral disebut sebagai sumber utama munculnya emosi negatif pada anak.
“Anak belajar dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan,” tegasnya.
Dalam sesi Penerapan Disiplin Positif, peserta diajak memahami bahwa hukuman dan sanksi tidak lagi relevan, dan digantikan dengan pembinaan berbasis kesadaran.
Disiplin positif ditumbuhkan melalui tiga tahap kesadaran: pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran diri.
Adapun lima langkah penerapan disiplin positif yang disampaikan adalah:
Ibu Bekti juga memaparkan pentingnya memahami kerja otak manusia. Ketika anak mengalami emosi negatif, tubuh memproduksi kortisol dan adrenalin yang dapat merusak sel memori dan menimbulkan stres. Sebaliknya, emosi positif memicu produksi endorfin, serotonin, dan dopamin yang menumbuhkan rasa bahagia, sabar, dan kasih sayang.

Sebagai penutup, seluruh peserta dibagi dalam kelompok untuk diskusi penyusunan borang Standarisasi Sekolah Ramah Anak sebagai bentuk implementasi nyata dari materi yang diperoleh.
Kegiatan berjalan dengan antusias dan meninggalkan kesan mendalam bagi seluruh peserta. Workshop ini diharapkan mampu mendorong para pendidik untuk semakin sadar dan terampil dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman, menyenangkan, dan berpihak pada anak.
Oleh : Jumiatun (Pendidik)