Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Di usia yang semakin matang ini, bangsa kita bukan hanya mengenang perjuangan masa lalu, tetapi juga dihadapkan pada tantangan dan ekspresi zaman yang terus berubah. Tahun 2025 ini, pemerintah menetapkan tema HUT RI ke-80: “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.” Tema ini mencerminkan harapan agar seluruh rakyat tetap bersatu dalam keberagaman, menjaga kedaulatan bangsa, serta mendorong kemajuan bersama di tengah perkembangan global.
Logo resmi peringatan yang menampilkan angka 80 dalam bentuk lambang infinity seakan menegaskan bahwa perjuangan tidak pernah berhenti. Namun, ketika perayaan Agustus biasanya dipenuhi kibaran bendera Merah Putih dan lomba-lomba tradisional, tahun ini muncul satu fenomena unik yang menjadi sorotan: pengibaran bendera One Piece, bendera bajak laut dengan tengkorak bertopi jerami yang viral di berbagai penjuru negeri. Mulai dari rumah-rumah, gang kecil, hingga tiang motor, bendera ini dikibarkan oleh banyak anak muda sebagai bagian dari ekspresi menjelang 17 Agustus.
Banyak yang bertanya-tanya, apa makna di balik pengibaran simbol bajak laut ini dalam suasana nasionalisme? Apakah ini bentuk penghinaan terhadap bendera negara? Ataukah justru ada pesan yang lebih dalam yang perlu didengar?
Dalam dunia fiksi anime One Piece, bendera Jolly Roger bukan sekadar simbol bajak laut biasa. Ia menjadi lambang dari sekelompok tokoh dipimpin oleh Monkey D. Luffy yang menentang ketidakadilan dan korupsi yang dilakukan oleh “Pemerintah Dunia.” Mereka tidak sekadar berpetualang mencari harta karun, melainkan memperjuangkan nilai-nilai seperti kebebasan, keadilan, solidaritas, dan keberanian melawan penindasan. Nilai-nilai inilah yang dirasakan relevan oleh banyak generasi muda di Indonesia saat ini.
Bagi sebagian kalangan, terutama anak muda, pengibaran bendera One Piece adalah bentuk ekspresi diri, bentuk nasionalisme baru yang tidak selalu harus formal. Mereka tidak menggantikan Merah Putih, tetapi menambahkan simbol lain yang mereka rasa bisa mewakili semangat perlawanan terhadap ketimpangan, suara keadilan, dan kebebasan berekspresi. Sebagaimana ditulis Tirto.id dalam artikelnya, “dalam cerita One Piece, Jolly Roger menjadi lambang perjuangan melawan kekuasaan yang sewenang-wenang” (31 Juli 2025). Bahkan salah satu komentar netizen yang viral menyebutkan, “pengibaran ini adalah cara kami menyuarakan harapan dan keresahan—bukan untuk menyaingi negara, tetapi agar negara mendengarkan” (CNN Indonesia, 31 Juli 2025).
Namun, tentu saja tidak semua orang memandangnya demikian. Beberapa tokoh masyarakat dan warga menganggap fenomena ini kurang pantas dilakukan menjelang perayaan kemerdekaan. Ada kekhawatiran bahwa bendera-bendera seperti ini bisa mengaburkan makna Merah Putih sebagai satu-satunya simbol perjuangan bangsa. Bahkan beberapa pihak mengingatkan agar tidak mengibarkan simbol lain lebih tinggi dari bendera negara. Kutipan dari Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kembali ramai di media sosial: “Kalian boleh mengibarkan bendera lain, tapi jangan lebih tinggi dari Merah Putih.” Ucapan ini menegaskan bahwa ruang untuk berekspresi memang ada, tetapi tetap harus dalam koridor penghormatan terhadap simbol negara dan sejarahnya.
Perdebatan antara Merah Putih dan Jolly Roger sesungguhnya adalah cerminan dari dua generasi yang mencoba memaknai kemerdekaan dari sudut yang berbeda. Merah Putih membawa kita pada memori perjuangan fisik, pengorbanan, dan nasionalisme yang klasik. Sementara Jolly Roger menjadi simbol dari bentuk baru nasionalisme yang kreatif, berani menyuarakan kritik, dan dekat dengan bahasa visual budaya populer. Keduanya tidak selalu bertentangan. Bahkan, mereka bisa saling melengkapi jika pesan yang disampaikan tetap berakar pada semangat keadilan, solidaritas, dan cinta tanah air.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa nasionalisme hari ini bukan hanya soal upacara, baju adat, atau lomba makan kerupuk. Nasionalisme bisa hadir dalam bentuk lain: di video kreatif, di lagu rap penuh kritik, di mural, bahkan di pengibaran simbol fiksi yang selama itu bertujuan mengingatkan bahwa perjuangan belum selesai. Bahwa di balik kemerdekaan, masih ada hal-hal yang perlu diperjuangkan: kesenjangan sosial, pendidikan yang belum merata, hak-hak warga yang masih terabaikan.
Bagi pelajar, fenomena ini bisa menjadi bahan pembelajaran dan refleksi yang sangat berharga. Anak-anak berada dalam tahap mencari jati diri, dan seringkali mengekspresikan pendapat melalui simbol-simbol yang mereka anggap keren atau relevan. Bendera One Piece, sebagai bagian dari budaya populer yang mereka konsumsi setiap hari, bisa menjadi sarana pembuka diskusi tentang nasionalisme, makna kemerdekaan, dan bentuk-bentuk perjuangan di zaman sekarang.
Namun penting untuk disadari: mengikuti tren tidak boleh mengaburkan pemahaman terhadap simbol negara dan nilai-nilai luhur bangsa. Jadi kalian harus memahami bahwa Merah Putih bukan sekadar kain dua warna, melainkan lambang yang lahir dari darah dan pengorbanan para pahlawan. Sementara Jolly Roger bisa dijadikan bahan diskusi tentang perjuangan fiksi yang memuat nilai-nilai idealisme, namun tidak bisa menggantikan peran simbol negara dalam kehidupan nyata.
Kemerdekaan adalah tentang memiliki hak untuk menyampaikan gagasan. Dan ketika generasi baru mengibarkan simbol yang tidak biasa, mungkin mereka sedang berkata: “Kami tidak melupakan kemerdekaan. Kami hanya ingin maknanya tetap relevan.” Maka, tugas kita sebagai bangsa adalah merangkul, bukan membungkam. Mendengar, bukan menghakimi.
Hal ini adalah momen penting untuk belajar menyatukan ekspresi diri, cinta budaya, dan penghormatan terhadap sejarah. Karena hanya dengan itu, Indonesia benar-benar bisa disebut merdeka, bukan hanya karena masa lalu, tapi karena generasi mudanya tetap menjaga semangatnya hari ini dan esok. (aer)
Sumber Referensi: