Bayangkan saat kamu membuka YouTube. Aneh sekali rasanya, video-video yang muncul di beranda hampir semuanya sesuai dengan seleramu. Atau ketika kamu iseng mencoba Google Translate, kalimat bahasa Inggris langsung berubah menjadi bahasa Indonesia dalam hitungan detik. Bahkan saat selfie dengan kamera ponsel, wajahmu bisa langsung lebih cerah berkat filter otomatis.
Semua itu terjadi bukan karena kebetulan. Ada teknologi canggih yang bekerja di balik layar bernama AI — singkatan dari Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan.
Generasi sekarang, yaitu kita, sebenarnya sudah sangat akrab dengan AI. Kita mungkin tidak selalu menyadarinya, tapi hampir setiap hari kita “bertemu” dengan AI, baik lewat media sosial, game, aplikasi belajar, maupun perangkat sehari-hari. Bagi generasi sebelumnya, AI mungkin terasa seperti sesuatu yang jauh dan rumit. Tapi bagi kita, AI sudah menjadi bagian dari kehidupan.
AI, Sahabat atau Tantangan?
Seperti sahabat baru, AI membawa banyak kemudahan. Misalnya, ia bisa membantu kita belajar lebih cepat karena mampu menyesuaikan materi dengan kemampuan kita. AI juga bisa menjadi sumber inspirasi: membantu menemukan ide menulis, mendesain poster, atau bahkan membuat musik. Singkatnya, AI membuat banyak hal terasa lebih mudah, praktis, dan kreatif.
Namun, AI juga punya sisi yang harus kita waspadai. Bayangkan jika kita terlalu bergantung padanya. Bisa saja kita jadi malas berpikir, hanya menunggu jawaban dari mesin. Lebih parah lagi, AI tidak selalu benar. Ada kalanya ia memberi informasi yang keliru. Kalau kita tidak kritis, kita bisa saja percaya begitu saja. Selain itu, data pribadi yang kita gunakan saat berinteraksi dengan AI juga bisa berisiko jika jatuh ke tangan yang salah.
Bijak Menggunakan AI
Itulah sebabnya, kita perlu yang namanya literasi AI. Literasi ini bukan hanya soal tahu apa itu AI, tapi juga soal bagaimana bersikap terhadapnya: mengecek ulang informasi, tidak menggunakannya untuk mencontek, dan tetap mengandalkan kemampuan diri sendiri.
AI pada akhirnya hanyalah alat. Sama seperti pisau, ia bisa digunakan untuk memasak makanan lezat atau justru melukai orang lain. Semuanya tergantung pada siapa yang memegangnya.
Generasi sekarang beruntung bisa tumbuh bersama teknologi canggih seperti AI. Pertanyaannya, maukah kita menjadikan AI sebagai sahabat yang membantu kita berkembang, atau justru jebakan yang membuat kita lupa berpikir? (aer)